MENDAWAI KAMPUNG HALAMAN
(Sumber : Google 'Foto sungai arut Mendawai Pangkalan Bun)
Mendawai, Selain sebagai nama daerah, juga menjadi nama salah satu suku asli Pangkalan Bun, Banyak hal perlu digali dari keberadaan orang Mendawai. Keberadaan mereka harus dicatat dalam tinta sejarah Kabupaten Kotawaringin Barat. Karena itulah saya membuat tulisan ini. Bukan untuk membahas tentang Mendawai secara administratif. Melainkan secara historis.
Coba tanyakan kepada orang mendawai, suku apa mereka? Dayak atau melayu? Sebagian besar orang mendawai bingung akan identitas mereka. sering mereka salah kaprah ketika mendefinisikan adat dan budayanya.
Menelurusi asal muasal orang mendawai bukan hal mudah. sebab tidak terdapat dokumen atau catatan sejarah yang mengulas secara rinci dan akurat. Tapi, meski secara samar, 'akar identitas' itu masih dapat dikonstruksi melalui beberapa hal yang digunakan sebagai acuan pengklasifikasian suatu suku, yaitu melalui bahasa, budaya, perilaku, keturunan dan juga agama.
Selain di Pangkalan Bun, nama mendawai juga terdapat di beberapa tempat lainnya di Kalimantan Tengah. seperti di kabupaten katingan dan sukamara. Menarik untuk melihat lebih jauh mendawai yang mana menjadi cikal bakal mendawai yang lainnya.
Mendawai di sukamara adalah nama kelurahan yang didiami oleh orang - orang sukamara. Dari segi bahasa, Bahasa sukamara sendiri bukan merupakan rumpun Bahasa Dayak. Bahasa sukamara dilihat dari kata-kata dan logat yang digunakan termasuk ke dalam rumpun Bahasa Melayu. HaL ini tidak aneh, sebab sebagai daerah paling barat di Kalimantan Tengah, mereka berbatasan langsung dengan suku - suku Melayu di Kalimantan Barat. Orang sukamara yang tinggal di daerah mendawai tetap menamakan dirinya orang sukamara. Bukan orang mendawai. Dalam artian, Mendawai diterima hanya sebagai nama tempat. Bukan nama suku.
Sedangkan Mendawai dikatingan, pada mulanya adalah nama sungai. Di aliran sungai itu terdapat beberapa desa. Seiring waktu, beberapa desa ini secara administratif masuk dalam Kecamatan Mendawai. Saat ini, sungai tersebutl ebih dikenal dengan Sungai Katingan. Masyarakat yang mendiami daerah ini memiliki kesamaan bahasa, budaya, perilaku dan agama yang identik sekali dengan masyarakat Mendawai Pangkalan Bun. Lalu Mendawai mana yang lebih dulu ada??
Jika dilihat dari bukti tertulis, nama Mendawai di katingan, pernah tercatat di dalam peta yang dibuat pada tahun 1975. Sedangkan nama mendawai di Pangkalan Bun belum pernah ditemukan di dalam dokumen - dokumen lama. Mungkin saja orang - orang Mendawai yang ada di Pangkalan Bun yang berasal dari sana. Mungkin pula kebalikannya.
Terdapat sebuah hikayat berkenaan dengan asal - usul nama Mendawai di Katingan. Hikayat tersebut dituturkan turun- temurun di masyarakat setempat. Konon pada zaman dahulu terdapat satu keluarga yang harus pergi meninggalkan daerah mereka. Mereka pergi karena permintaan raja untuk mempersunting anak gadis mereka. Akhirnya mereka memutuskan pergi berlayar dan mencari tempat yang aman sebagai tempat tinggal mereka. Pelayaran itu membawa mereka kesuatu tempat di aliran Sungai Katingan. Daerah itu selanjutnya mereka namakan sama dengan nama suku dan daerah mereka sebelumnya, Mendawai.
Namun menurut hemat saya, jika memang asal mula orang Mendawai adalah orang - orang Mendawai yang ada di Pangkalan Bun, maka yang paling masuk akal adalah perpindahan itu terjadi karena Katingan merupakan tempat persinggahan pelayaran anatar orang - orang Mendawai dulu dengan Suku - Suku Banjar diKalimantan Selatan. Karena memang muara Sungai Katingan terletak di tengah - tengah jalur pelayaran itu.
Pada dasarnya orang Mendawai yang ada di Pangkalan Bun adalah sub suku dari suku Dayak Ngaju. Dayak Ngaju sebagai rumpun besar suku dayak di Kalimantan Tengah kemudian melahirkan sub- sub suku kecil lainnya. Sub - sub suku ini lahir karena persebaran migrasi dari suku Dayak Ngaju ke beberapa tempat. Sehingga sub- sub suku ini mengalami pergeseran budaya, bahasa dan agama. Sehingga lebih memilih untuk dogolongkan sebagai sub suku mereka sendiri.
Bahasa menunjukan persamaan suatu suku. Bahasa Ngaju dan Bahasa Mendawai adalah bahasa yang sama walaupun bahasa mendawai memiliki keunikandalam langgam atau logat yang digunakan. Sebagai daerah paling barat KalimantanTengah yang berbatasan langsung dengan suku melayu, logat yang digunakan bahasa Mendawai kental dengan logat Melayu.
Orang mendawai menuturkan bahasanya 'berayun - ayun'. Belum lagi pengaruh bahasa - bahasa lain yang 'mengepung' bahasa mendawai. Seperti bahasa teringin, Sukamara, Kumai dan lain- lain. Memberi warna tersendiri bagi Bahasa Mendawai dibanding dengan Bahasa Ngaju di daerah -daerah lainnya.
Dari segi budaya, dapat dilihat beberapa sisa - sisa kebudayaan Dayak Ngaju paada masyarakat Mendawai. Menurut penuturan tetua Mendawai, bahwa dulu sebelum islam masuk, orang - orang Mendawai juga melaksakan ritual kepercayaan dinasmisme. Salah satu ritual yang masih sempat saya lihat pada medio 90anadalah adanya orang mendawai, yang tinggal di pinggiran Sungai Arut melarung sesajen dalam perahu kecil ke tengah sungai. Sesajen tersebut sebagai permohonan untuk menolak bala atau memberi makankedapa ' sahabat' dari alam gaib. Selain itu, zaman dulu juga dikenal istilah "Menenga Ancak" yaitu persembahan verupa sesajen dalam nampan bulat dan diletakan atau digantungkan di pohon- pohon yang mereka anggap keramat.
Kebudayaan itu hampir tidak terlihat lagi sekarang. Sejak orang mendawai meganut agama islam, paktis ritual - ritual budaya yang berbenturan dengan ajaran islam dihapuskan. Oleh sebab itu pula, orang Mendawai menganggap dirinya orang Melayu. Tidak salah memang, sebab pengaruh Melayu memang sangat kental. Saya pribadi melihat ini sebagai keunikan. saya sendiri mendefinisikan orang Mendawai sebagai dayak pesisir. Dayak yang kental denganbudaya Melayu.
Terdapat sebuah teori yang menyatakan bahwa pada mulanya orang -orang Mendawai lebih dulu mendiami daerah dipesisir pantai. Sebagai mana kita ketahui, beberapa desa pesisir Pangkalan Bun ini menggunakan bahasa Mendawaisebagai bahasa ibu. Seperti di Desa Bogam, Keraya,Sungai Rengas dan Sebuai. Meski terdapat sedikit perbedaan dalam cara pengucapan huruf dengan orang - orang Mendawai dan diperkuat pula bukti penemuan beberapa temuan kuno di Desa Sungai Rengas beberapa tahun lalu berupa keramik - keramik asal cina. Penemuan ini merupakan bukti kaut bahwa sudah terjadi transaksi perdagangan antara orang - orang Mendawai dengan pedagang - pedagang Cina pada zaman dulu.
Kemudian, dari pesisir mereka masuk menyebar ke dalam anak - anak Sungai Arut seperti Sungai Karanganyar, Sungai Bamban dan Sungai Bulin. Sungai Karanganyar menjadi sungai yang paling banyak didiami pada saat itu. Hanya sebagian kecil yang menndiami kedua sungai lainnya. Orang Mendawai menyebut Sungai Karanganyar adalah "Lebu Helu" (Daerah Yang Lebih Dulu).
Akan tetapi, setelah Kerajaan Kotawaringin berpindah dari Korawaringin Lama ke Sungai Bu'un dan mendirikan perkampungan, orang - orang mendawai yang mulanya mendiami Sungai Karanganyar kemudian memilih bergabung dengan saudara mereka yang sudah lebih dulu tinggal di sekitar Sungai Bulin. Sungai Bamban dan Sungai Karanganyar beralih fungsi hanya sebagaitempat berladang. Meski beberapa keluarga masih memutuskan bertahan. Pemukiman Mendawai yang tersebar di sekitar Sungai Bulin semakin banyak dan akhirnya menyatu sampai ke Sungai Bu'un. Lalu menjadilah Kota Pangkalan Bun.
Dulu Sungai Bulin terletak di sekitar Kampung Ngawa dan memanjang hingga kurang lebih berakhir di Gang Seroja, tepat di bawah kaki bukit Masjid Agung. Namun sayang, dikemudian hari, Sungai bulin sebagai salah satu Sungai Bersejarah ini kalahpamor dibanding sungai -sungai lainnya. karena tidak terawat, pada akhirnya mengalami pendangkalan hngga kemudian menghilang.
Mudah-mudahan, nasib yang dialami orang Mendawai tidak seperti Sungai Bulin. Terpinggirkan, terlupakan, kehilangan identitas adat dan budaya, kemudian hilang ditelan zaman. Sedih melihat kenyataan ketika anak - anak Mendawai diminta kenyataan ketika anak - anak mendawai menampilkan budaya - budaya lokal, mereka kehilangan arah. Tak tau jelas apa yangharus ditunjukan dan tak ada yang bisa ditunjukan. Bahasa mendawaipun, sebagai benteng budaya terakhir, semakin hari semakin terkikis. kita bertanggung jawab untuk mengangkat lagi adat budaya yang pernah ada dan mempertahankannya. Pastinya budaya yang tidak bertentangan dengan ajran agama. Sebagai warisan untuk masa depan.
Tentunya apa yang saya sampaikan harus diteliti dan dibuktikan lenih lanjut. Tulisan ini bukanlah akhir dari sebuah jalan panjang tentang kajian kebudayaan Mendawai, melainkan hanya ketukan kecil di depan pintu gerbangnya yang sekian lama terkunci. Tugas orang - orang mendawailah, siapapun itu , terlebih yang sekarang sudah menjabat posisi - posisi penting pemerintahan untuk bergerak menggali, meneliti dan mendokumentasikannya lebih lanjut. Agar kelak anak cucu kitatau, siapa mereka sebenarnya.
Sekian dan terima kasih......
Sumber : Facebook @Julay Juliansyah
Sumber Foto : Google "Foto Sungai Arut Mendawai Pangkalan Bun"
saya lahir di desa sungai bakau pesisir kumai, tapi belum disebut dalam artikel ini,kami memakai bahasa ibu 100% bahasa mendawai, adat kami masih ada menenga ancak, menenga lanting, tapi sudah membaca doa selamat, doa tolak bala, karena mayoritas kami beragama islam...tapi memang betul kalo di tanya kepada kami khususnya saya, saya tidak bisa menyebutkan suku saya apa? melayu atau dayak...
BalasHapus