KAJIAN MAHASISWA KOBAR “ REFORMASI DI-KORUPSI ”
ALIANSI MAHASISWA
KOTAWARINGIN BARAT
“ REFORMASI DI-KORUPSI ”
“ REFORMASI DI-KORUPSI ”
Reformasi : Sebuah Pintu
Gerbang
21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer soeharto telah
runtuh setelah 32 tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat
memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat. Dalam gerakan tersebut,
setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi landasan perjuangan
reformasi. Pertama, narasi bersar developmentalism rezim militer soeharto yang
telah berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan.
Selanjutnya, ada semangat membebaskan masyarakat dari cengkaraman
ketidakpastian hukum, menghapuskan korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan
harga, dan pengangguran. Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi
menurut lembaga penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung
aspirasi pendapat masyarakat luas. Ada setidaknya enam agenda reformasi yang
menjadi tuntutan masyarakat 21 tahun silam : 1). Adili Soeharto dan Kroninya; 2). Amandemen UUD 1945; 3).
Penghapusan dwi fungsi ABRI; 4).
Hapuskan korupsi, kolusi dan nepotisme; 5).
Pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya, dan 6). Supremasi hukum. Di sisi lain, reformasi juga menjadi pintu
pembuka tata kelola negara yang lebih partisipatif.
Konteks
di atas kemudian patut dijadikan refleksi bersama melihat peristiwa-peristiwa
politik di Indonesia akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019
menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu
agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik
dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi
legislatif. Pasal- pasal ini meliputi aturan mengenai Makar, Kehormatan
Presiden, Tindah Pidana Korupsi (Tipikor), Hukum yang Hidup di Masyarakat, dan
beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai
sana, saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang
terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU
Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan
dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
yang sempat menjadi bola panas menjelang pemilu, hingga saat ini justru belum
mendapat kepastian pembahasan lebih lanjut.
Melihat
hadirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengancam hak-hak sipil
hampir seluruh elemen masyarakat, sudah sepatutnya masyarakat sipil menunjukkan
keberpihakan dan melepas sekat-sekat yang ada. Akumulasi dari pola pengambilan
keputusan pemerintah di beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa saluran
aspirasi dan partisipasi masyarakat sangat dibatasi. Kemudian, ruang-ruang bagi
kebebasan sipil untuk berekspresi juga terancam dipersempit atau bahkan tidak
ada. Lalu pertanyaannya adalah, apakah seluruh rangkaian peristiwa politik
akhir-akhir ini belum cukup untuk membangun kesadaran kita semua?
Paradoks Konsep Governance
dan Policy Network : Meninjau Letak Partisipasi Masyarakat Sipil
Kritik
besar terhadap sentralisasi kekuasaan Orde Baru, sebagaimana telah dibahas di
bagian sebelumnya, kemudian memunculkan tuntutan terbukanya keran-keran dan
saluran demokrasi bagi lebih banyak pihak. Hal ini kemudian diterjemahkan
melalui pola-pola kekuasaan yang lebih tersebar. Kekuatan pemerintah eksekutif
di tataran pusat yang begitu besar di era Orde Baru menjadi refleksi kebutuhan
terhadap semangat-semangat desentralisasi, pembagian/pemisahan kekuasaan
formal, dan partisipasi masyarakat sipil. Di sisi lain, melalu sektor tata
kelola sektor publik, wacana global telah menekan sebuah kerangka konseptual
yang membuat konsep government bergeser ke konsep governance. Government yang
sarat akan pola kekuasaan sentralistis pada entitas negara berubah ke arah
governance yang pola kekuasaanya menyebar ke banyak entitas. Goldsmith dan
Eggers, dalam bukunya, menulis bagaimana konsep government menitikberatkan pada
negara sebagai entitas utama pengelola sektor publik cenderung kaku, hierarkis,
birokratis dan tidak mampu mengakomodasi kepentingan publik. Literatur ini
kemudian membahas bagaimana relevansi konsep governance yang menggeser tata
kelola pemerintahan yang lebih responsif, flesibel dan partisipatif dengan
menempatkan negara sebagai pengelola jaringan dari banyak entitas yang ada.
Dalam konsep tata kelola pemerintahan berbasis jaringan (governing by network)
dikenal konsep yang selama ini dipahami sebagai collaborative governance,
dimana kebijakan dirumuskan berdasarkan partisipasi dari negara, pemerintah di
tingkat lokal, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil dan entitas lain seperti
institusi pendidikan. Pada susunan praktik, terdapat pola relasi yang asimetris
antara perlibatan entitas-entitas non-negara. Praktik kerangka konseptual
governance sangat dipengaruhi oleh ketelibatan policy network di tataran proses
pembuatan kebijakan. Policy Network
merupakan sebuah wadah yang berisikan berbagai jenis entitas yang secara
spesifik berjejaring untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan negara.
Policy Network banyak diisi oleh birokrat-birokrat level atas, representasi
kelompok kepentinga, akademisi kebijakan dan aktor-aktor korporasi. Dalam
tulisan tersebut, policy network menjadi salah satu entitas kunci proses
pembuatan kebijakan; bagaiamana kebijakan diusulkan, disusun/dirumuskan,
disepakati, dan di-implementasikan. Marin dan Mayntz , dalam tulisannya,
menulis bahwa melalui pendekatan jaringan, kebijakan pada akhirnya jatuh pada
hasil dari proses interaksi antara aktor- aktor korporasi. Di sisi lain,
kehadiran policy network sejatinya tidak menyisakan banyak tempat bagi
aktor-aktor pemerintahan formal (baca: politisi partai, anggota parlemen,
aktor-aktor eksekutif) untuk melakukan exercise power di arena-arena formal
yang selama ini menjadi 'arena kekuasaan mereka'. Melalui pengaruh aktor-aktor
sektor privat dalam proses pembuatan kebijakan, pemerintah kemudian menjalankan
peran sebagai fasilitator dari kepentingan aktor-aktor tersebut . Sedikitnya
ruang dalam arena-arena formal kebijakan pada akhirnya memaksa aktor-aktor
pemerintahan formal sebagaimana telah disebut sebelumnya untuk melakukan
exercise power di dalam policy network . Pada konteks ini, sulit memisahkan
sepenuhnya antara aktor-aktor dalam parlemen ataupun aktor-aktor dalam
pemerintah eksekutif dengan aktor-aktor yang tergabung dalam policy network.
Praktik
pola-pola di atas menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar, dimana letak
partisipasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan? Sebagaimana
telah disinggung di bagian sebelumnya, proses pembuatan kebijakan sangat
dipengaruhi oleh kehadiran dan kepentingan policy network yang memiliki akses
langsung (direct access) terhadap aktor- aktor formal kebijakan. Pada titik
ini, partisipasi masyarakat sipil mendapat pola akses yang begitu sempit
dibandingkan dengan aktor-aktor sektor privat ataupun elit politik dan ekonomi,
baik di tataran nasional maupun lokal. Konteks ini kemudian memunculkan
paradoks dari konsep demokrasi representasional yang menempatkan konstituen (masyarakat
sipil) sebagai pihak yang kepentingannya direpresentasikan oleh aktor formal
dalam parlemen. Di sisi lain, konteks tersebut juga menjadi paradoks besar
dalam narasi governance yang seharusnya membuka ruang partisipasi sipil dalam
kebijakan. Fenomena ini kemudian akan sangat relevan ketika ditinjau melalui
pendekatan jejaring yang pada akhirnya akan melihat pola relasi elit politik
dengan aktor-aktor kuat lainnya dalam jaringan
oligarki.
Demokrasi dalam Pusaran
Oligarki
Satu
hal yang perlu dipahami bahwa negara (state) adalah sebuah arena yang harus
direbut. Negara (state) tak pernah utuh- terpadu dan state bukanlah entitas
yang homogen. State adalah arena pertarungan yang bisa ditarik-menarik dan
dimanipulasi oleh sejumlah aktor dengan memanfaatkan berbagai aturan dan
regulasi untuk kepentingan individu dari beragam kelompok atau kelas (Tomagola,
2017). Banyak ilmuwan dengan prespektif ekonomi-politik yang mengutarakan bahwa
arena pertarungan tersebut kini telah dikuasai oleh oligarki. Akibatnya, demokrasi
yang dijalankan dan diimajinasikan sebagai kekuasaan dalam kontrol 'demos'
tidak terwujud. Justru pada akhirnya demos dipersempit hanya menjadi voters
(pemilih). Demokrasi partisipatif tidak terwujud, hanya ada demokrasi
prosedural melalui pemilihan umum. Pun melihat konteks paca reformasi yang
membawa semangat demokrasi dan supremasi sipil, masih terdapat
paradoks-paradoks dalam praktik penyelenggaraannya.
Studi
Winters (2013) mengenai politik kontemporer di Indonesia menyatakan bahwa tidak
ada perubahan berarti pasca reformasi. Menurutnya hanya satu perubahan yang
hadir yaitu bahwa Indonesia tak lagi dipimpin oleh diktaktor Namun orang-orang
lingkaran Soeharto, sanak kerabat, dan figur-figur penting membentuk kartel
politik . Lebih lanjut sistem desentralisasi memungkinkan lingkaran lebih luas
bagi para pelaku bisnis dan elite politik memperoleh akses ke kontrak-kontrak
dan konsesi. Konsep penting yang diajukan oleh Winters (2011) dalam
menteorisasikan oligarki adalah pertahanan kekuasaan. Winters (2011)
menjelaskan bahwa oligarki memilki satu sifat mendasar yaitu akan
mempertahankan kekuasaan. Pertahanan kekuasaan terbagi menjadi dua jenis yaitu
pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Model pertahanan kekayaan sebagai
basis dari kekuasaan ini menentukan bagaimana oligarki akan terdiferensiasi
dalam beberapa bentuk. Satu masa oligarki bisa terlibat langsung dalam politik,
bisa juga oligarki terlibat dalam mempertahankan kekayaan dengan senjata, pada
masa yang lain tidak menggunakan senjata melainkan memanfaatkan saluran
demokrasi. Hari ini oligarki membajak demokrasi salah satunya melalui
pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan
mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media. Melalui
pemahaman ini, konsep oligarki pada akhirnya juga berperan dalam proses
perusakan lingkungan yang pada konteks Indonesia beberapa waktu terakhir
termanifestasikan dalam kerusakan lahan.
Senada
dengan Winters, Robinson & Hadiz (2005) juga mengemukakan bahwa pasca
reformasi bukan berarti oligarki hilang. Oligarki di Indonesia mengalami
transformasi dan reorganiasai menyesuaikan dengan sistem yang ada. Kendati
sistem senteralisasi yang dijalankan oleh Orde Baru sudah tumbang, namun
elemen-elemen oligarki telah mengorganisasi dan membentuk jejaring patornase
baru yang bersifat desentralistik. Konfigurasi oligark berubah menjadi lebih
cair dan saling bersaing satu sama lain merebutkan kekuasaan ditingkat lokal .
Pada titik ini oligarki telah menjerat demokrasi. Saluran partisipasi
masyarakat untuk turut serta dalam pengambilan keputusan dan menentukan arah
kebijakan publik menjadi tertutup. Senada dengan hal tersebut studi yang
dilakukan oleh Hanif (2017) dengan menakar kualitas dan pelembagaan demokrasi
menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia cenderung semakin liberal, namun secara
subtansial tidak demokrastis. Aspek kebebasan terlembaga dengan baik, namun
kontrol masyarakat atas kebijakan publik dan penentuan pembangunan nasional
belum dapat dilakukan secara maksimal .
Saluran
demokrasi yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat digunakan untuk
melayani oligarki. Apalagi dengan konsep good governance yang menjadi dalih
pasar/swasta dapat masuk dan ikut campur dalam pengambilan kebijakan publik.
Salah satu sarana yang digunakan oleh oligarki adalah lewat pembentukan
undang-undang. Sebab, undang- undang yang akan menguntungkan oligark digunakan
untuk melakukan pertahanan kekuasaan (baik pertahanan kekayaan maupun
pendapatan). Hal ini penting untuk kita sadari, bahwa kadang kepentingan para
oligark tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada. Pardoks yang terjadi justru
demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu sendiri.
Rakyat Bergerak: Mengajukan
Klaim atas Ruang Publik
Melihat
konteks di atas, salah satu yang bisa dilakukan untuk mengajukan kembali klaim
terhadap demokrasi adalah melalui penguatan masyarakat sipil. Berdasarkan
minimnya akses vertikal yang ada, masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi
lebih dalam untuk merumuskan civic engagement yang terstruktur untuk memperkuat
posisinya dalam menentukan arah kebijakan negara. Upaya untuk merebut kembali
kontrol atas demokrasi dan arah kebijakan kepada masyarakat mengarah kepada
perubahan relasi kekuasaan yang selama ini berlangsung. Pada praktiknya, proses
pembuatan kebijakan publik tidak semata-mata dilakukan oleh negara, karena
dalam arena pengelolaan urusan publik senantiasa berlangsung pertarungan
kepentingan. Terutama kepentingan dari oligark yang ingin mempertahankan
kekuasaanya seperti yang dijelaskan oleh Winters.
Lebih
dalam lagi oligarki melakukan kontrol atas demokrasi dan arah kebijakan tidak
publik lewat regulasi dan aturan yang diproduksi seperti RUU yang akhir-akhir
ini meresahkan. Namun, oligarki juga melakukan politik diskursus untuk
mengklaim kebenaran tentang kebijakan publik diambil. Wacana yang diciptakan
adalah batasan-batasan tentang kriteria bagaimana kebijakan publik diambil
secara demokratis, seperti pada konsep good governance yang didefinisikan secara
instrumental seperti nilai -nilai akuntabilitas, transparansi, dan sebagainya.
Meskipun pada praktiknya nilai tersebut tidak terlaksana secara maksmimal.
Wacana yang mempersempit hanya menekankan nilai-nilai pada good governance akan
mengabaikan praktik yang berbeda yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil.
Masyarakat sipil perlu keluar dari tempurung wacana yang dibuat dengan cara
melakukan tindakan menjadikan isu dan kepentingan masyarakat yang semula
terabaikan atau tereksklusi menjadi agenda dan kepentingan publik melalui aksi
maupun deliberasi . Merawat partisipasi dalam demokrasi dalam artian mendorong
kesadaran masyarakat untuk merebut kembali akses di ruang publik, baik
mengikuti proses pembuatan keputusan, keterlibatan dalam networking civil
society, merumuskan advokasi kebijakan alternatif, atau mengisi ruang publik
melalui aksi turun ke jalan.
SIKAP ALIANSI MAHASISWA
KOTAWARINGIN BARAT (REFORMASI DI-KORUPSI)
Pengaruh
besar elit politik dan jaringan oligarki terhadap arah kebijakan negara telah
secara historis mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil. Rangkaian
peristiwa politik dan lingkungan beberapa waktu terakhir merupakan ancaman
serius bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Kemudian atas terjadinya
ketidakstabilan demokrasi dan keadaan negara yang saat ini dalam keadaan bahaya
karena kebijakan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menghilangkan
kepercayaan rakyatnya, bahwa ketika hal tersebut terus berlanjut dikhawatirkan
akan muncul gelombang civil disobdience yang masif. Dengan
ini kami mengingatkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
untuk tak mengkorup-reformasi dan tidak mengembalikan kultur Orde Baru dalam
penyusunan kebijakan. Dengan ini, Aliansi Mahasiswa Kotawaringin Barat merespon
dan mengajukan beberapa tuntutan yang meliputi :
1. Menolak
RUU KUHP
Mencabut draft RKUHP dan melakukan kajian dan
partisipasi publik kembali dalam penyusunan draft secara komprehensif sebelum
melakukan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat, mencabut pasal-pasal karet
dalam Undang-Undang ITE maupun peraturan perundang-undangan lainnya, dan
mendisiplinkan aparat negara dalam berhadapan dengan rakyat untuk dijamin
kebebasan berpendapat demi iklim demokrasi yang sehat.
2. Menolak
RUU Sumber Daya Air (SDA), RUU Pertanahan, RUU Ketenaga Kerjaan
Meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelesaikan konflik
Agraria dan melaksanakan Reforma Agraria Sejati, mencabut undang-undang Sumber
Daya Air (SDA) yang menghalangi akses rakyat terhadap air, menolak RUU Minerba
yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat yang dalam konflik pertambangan,
menolak RUU Pertanahan yang berpotensi memperparah ketimpangan kepemilikan
tanah, meminta Pemerintah dengan serius melakukan pengawasan terhadap kegiatan
usaha yang berdampak penting bagi lingkungan dan menghentikan kriminalisasi
petani.
3. Menolak
UU KPK
Mencabut Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
menerbitkan Perpu yang mencabut Undang-Undang KPK dan disetujui oleh DPR,
mencabut revisi Undang-Undang Permasyarakatan yang memberikan kenikmatan bagi
koruptor, membatalkan pengangakatan seluruh capim Komisi Pemberantasan Korupsi
yang terpilih dan menunda pengesahan dan mengeluarkan seluruh ketentuan
mengenai korupsi dari RUU KUHP.
4. Menuntut Penghapusan Diskriminasi Antar
Etnis, Pengahpusan Kesenjangan Ekonomi Dan Perlindungan Bagi Perempuan.
Meminta Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan serius mengupayakan
penghapusan diskriminasi terhadap seluruh etnis di Indonesia, dan menjamin
dilaksanakannya otonomi daerah yang mensejahterakan dan menjamin akses ekonomi
bagi rakyat.
NOTA
KESEPAKATAN
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Jabatan :
Dengan
ini menyatakan dengan tegas :
1. Menolak RUU KUHP;
2. Menolak RUU Sumber Daya Air (SDA), RUU Pertanahan, RUU
Ketenaga Kerjaan;
3. Menolak UU KPK;
4. Menuntut
Penghapusan Diskriminasi Antar Etnis, Pengahpusan Kesenjangan Ekonomi Dan
Perlindungan Bagi Perempuan.
Pangkalan
Bun, 01 Oktober 2019
.....................................................
Saksi I
PJS
BEM UNTAMA
|
Saksi II
GUBERNUR BEM FAK. PERTANIAN
|
Saksi III
GUBERNUR BEM FAK. EKONOMI
|
Saksi IV
GUBERNUR BEM FAK. HUKUM
|
Saksi V
KETUA UMUM
HMI
PANGKALAN BUN
|
Saksi VI
KETUA UMUM
PMKRI PANGKALAN BUN
|
Komentar
Posting Komentar